fa

Selasa, 05 April 2011

Belajar lebih baik dengan akhlakul karimah

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199)

Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling dari tindakan yang tidak patut.

Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak umat ini.

Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur, sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada periode awal perkembangan Islam.

Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi” (keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.

Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”.

Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan. Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.

Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).

Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap, mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam.

Macam-macam akhlakul karima

Akhlakul Karimah
Lambang Kematangan Iman
اقًل
ُخُ مْ ه
ُن
ُسَ حْ أ
َ
ِل ىَ إ
ِ
ِل د
َاب
َعِ ّحَأ
َ
"Hamba-hamba Allah yang paling dicintai-Nya adalah yang paling baik
akhlaknya di antara mereka" (Shahih Al Jami’: 179)
Akhlak adalah bentuk jama dari yang berarti budi pekerti, perangai,
tingkah laku, atau tabi’at. Berakar dari kata khalaqa yang berarti
menciptakan. Kata-kata akhlak seakar dengan katakhaliq (pencipta),
makhluq (yang diciptakan) dan khalaq(penciptaa n).
Abdul Karim Zaidan mendefinisikan akhlak sebagai berikt ;“Akhlak
adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengansorotan dan timbangannya, seseorang dapat menilai perbuatannya baik atauburuk, untuk kemudian memilih melakukanatau meninggalkannya.”
Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwamanusia, akan muncul secara spontan ketika diperlukan, tanpa pemikiranatau pertimbangan dan tidak memerlukan dorongan dari luar. DalamM u’ja m
Al Wasithdisebutkan; Min ghairi hajah ila fikr wa ru’yah(tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan).
Muhammad Abdullah Draz dalam bukunya Dustur Al Akhlak fil Islammembagi ruang lingkup akhlak kepada lima bagian, yaitu : Akhlak peribadi(Al Akhlak Al Fardhiyah), Akhlak Berkeluarga (Al Akhlak Al Usairiyah), AkhlakBermasyarakat (Al Akhlak Al Ijtima’iyah), 4.Akhlak Bernegara (Al Akhlak Ad
Daulah), Akhlak Beragama (Al Akhlak Ad Diniyah).1
Akhlakul karimah sangatlah tinggi kedudukannya dalam penilaian Islam.Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam diutus untuk menyempurnakanakhlak manusia. Rasulullah selalu menakar baik buruknya akhlak seseorangsebagai ukuran kualitas imannya. Makaakhlak Islami paling kurang jugamemiliki lima ciri-ciri khas yaitu:
1. Akhlak Rabbani
Akhlak Islam bersumber dari wahyu Ilahi yang termasuk dalam AlQuran dan Sunnah. Dalam Al Quran terdapat lebih 1.500 ayat yangmengandung ajaran akhlak, baik dalam teori atau praktik. Begitu pula dalamhadits-hadits Nabi, amat banyak memberi pedoman tentang akhlak. SifatRabbani dari akhlak bertujuan memperoleh kebahagiaan di dunia sekarang
1 Dikuatkan oleh Drs. Yunhar Ilyas, Lc., MA. dalam bukunya “Kuliah Akhlak”.
dan di akhirat nanti.
Ciri Rabbani dalam akhlak Islam bukanlah moral yang tradisional dansituasional, tetapi akhlak yang benar-benar memiliki nilai mutlak. AkhlakRabbani mampu menghindari kekacauan nilai moralitas dalam kehidupanmanusia.
Al Quran mengajarkan, « Inilah jalan-Ku yang lurus, hendaklah kamu
mengikutinya, jangn kamu ikuti jalan-jalan lain, sehingga kamu berceraiberai dari jalan-Nya. Demikian yang diperintahkan kepadamu, agar kamubertaqwa. » (Q.S. Al An’am: 153)
2. Akhlak Manusiawi
Akhlak Islam memenuhi tuntutan fitrah manusia. Kerinduan jiwamanusia kepada kebaikan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlakdalam Islam. Ajaran akhlak dalam Islam diperuntukkan bagi manusia yangmerindukan kebahagiaan dalam arti hakiki bukan kebahagiaan yangsementara. Akhlak Islam adalah akhlak yang benar-benar memeliharaeksistensi manusia sebagai makhluk terhormat, sesuai dengan fitrahnya.
3. Akhlak Menyeluruh (Universal)
Akhlak dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan secara meluas(universal), mencakup segala aspek hidup manusia, baik yang dimensinyavertikal maupun horizontal. Sebagai contoh Al Quran menyebutkan sepuluh
macam keburukan yang wajib dijauhi oleh setia orang.
a. Dilarang menyekutukan Allah,
b. Dilarang durhaka kepada orang tua,
c.Dilarang membunuh anak karena takut miskin,
d.
Dilarang berbuat keji baik secara terbuka maupun secara
tersembunyi,
e. Dilarang membunuh orang tanpa alasan yang sah,
f. Dilarang makan harta anak yatim,
g. Dilarang mengurangi takaran dan timbangan,
h.
Dilarang membebani orang lain kewajiban yang melampaui
kekuatannya,
i. Dilarang melakukan persaksian tidak adil,
j. Dilarang mengkhianati janji dengan Allah.
4. Akhlak yang sangat seimbang
Akhlak dalam Islam berada di tengah antara yang khayalan manusiasebagai malaikat yang semata bertumpu kepada segi kebaikan saja tanpadorongan nafsu dengan sifat-sifat hewaniyah yang menitik beratkan sifatkeburukannya saja. Manusia menurut pandangan Islam memiliki duakekuatan dalam dirinya Kekuatan baik pada hati nurani dan akalnya.Kekuatan buruk pada hawa nafsunya. Manusia memilikinaluri hewaniyahdan juga ruhiyah malaikat. Manusia memiliki unsur rohani dan jasmani yangdilayani secara amat seimbang.
Manusia hidup tidak hanya di dunia kini, tetapi akan berlanjut dengankehidupan akhirat. Hidup di dunia merupakan ladang bagi akhirat. AkhlakIslam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia, jasmani dan rohani. Secaraseimbang pula menuntun hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Bahkanmemenuhi kebutuhan peribadi harus seimbang memenuhi kewajibanterhadap masyarakat.
5. Akhlak dalam kehidupan nyata
Akhlak Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipunmanusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan di bandingdengan makhluk-makhluk yang lain, tetapi manusia mempunyai kelemahan.Manusia mempunyai kecenderungan manusiawi dan berbagai macamkebutuhan materialdan spritual. Kelemahan-kelemahan manusia itu sangatmemungkinkan bagi manusia melakukan kesalahan-kesalahan danpelanggaran. Oleh sebab itu Islam memberikan kesempatan kepada manusiayang melakukan kesalahan untuk memperbaiki diri dengan bertaubat danberistighfar. Bahkan dalam keadaan terpaksa, Islam membolehkan manusiamelakukan sesuatu yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan.
Ketika umat Islam melakukan panduan akhlak sesuai dengan bimbinganAlquran dan Sunnah Rasulullah Shallalahu alaihi wa Sallam, maka tampaklahperilaku umat itu aneh dan ganjil sekali.
Wallahu alamu bis-shawaab